Latest Stories

An Affair to Remember




Briana membersihkan luka di pipi kiri Leroy. Satu sayatan kater terlihat jelas dengan darah kering di sekitarnya. Leroy mengeluh kesakitan dan kemudian memeluk pinggang Briana dengan keras.


"Maafkan aku, istriku, aku tidak seharusnya bertingkah seperti anak kecil dan menyayat pipiku sendiri!" erang Leroy penuh penyesalan. Briana tersenyum kecil dan kemudian meneteskan obat untuk luka sayat itu. Leroy memandang mata Briana dalam-dalam.

"Kau belum memaafkan aku? Aku tahu aku adalah suami paling bodoh di seluruh dunia ini, aku sangat bodoh!" rutuk Leroy sambil memukul kepalanya sendiri. Briana dengan sigap langsung menahan kepalan tangan Leroy yang melemah. Dirasakannya keriput-keriput yang terlihat jelas di tangan Leroy ketika membelai.

"Tidak, Leroy, aku sudah tidak marah, sekarang aku akan mengobati lukamu, jadi tolong tenang ya, ini akan segera sembuh," jawab Briana lembut. Leroy mengangguk keras dan ada gumpalan kebahagiaan tersurat dibalik senyumannya.

"Aku bersyukur pada Tuhan telah diberikan istri yang begitu cantik dan pintar. Sekali lagi aku minta maaf padamu karena aku telah menuduhmu selingkuh. Aku tidak bisa berpikir jernih ketika kulihat kau mencium pipi pria itu dari jendela!" ujar Leroy. Briana tidak banyak berkomentar. Memang kemarin ia mencium pipi Sean, dan Leroy ternyata melihatnya.

"Katakan padaku, istriku, katakan lagi seperti yang kemarin," pinta Leroy, kepala dan pundaknya bergetar hebat. Briana menghela nafas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia memandang wajah Leroy dan membelai lembut pipinya.

"Tidak, Leroy, aku tidak berselingkuh. Sean adalah temanku, kau jangan berlebihan seperti ini," jelas Briana menenangkan kegundahan Leroy yang masih tersisa di hatinya.

"Terima kasih, Sayang, aku mencintaimu," jawab Leroy sembari menghapus air mata dari sudut matanya. Briana mengelus kepala Leroy dan membaringkannya di kasur.

"Sekarang kau tidurlah, aku masih punya pekerjaan," sebuah kecupan manis mendarat di kening Leroy yang kini jauh lebih tenang dan ia pun tertidur.


*

Briana menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia menerima banyak laporan hari ini. Banyak proposal yang harus diselesaikannya dengan tenggat waktu yang cukup mendesak. Hanya satu nama yang terbesit di kepalanya.

"Hai Sean."

"Hai Briana-ku yang cantik, ada apa menelponku?"

"Apa yang sedang kau lakukan? Kepalaku penat, dan aku butuh udara segar. Kau selesai kerja jam berapa?" tanya Briana.

"Aku belum pasti, sepertinya nanti sore aku ada berita yang harus kukerjakan. Aku harus meliput sebuah festival musik di Seattle. Kalau kau mau, kemarilah sekarang atau malam nanti."

"Aku tidak bisa sekarang, Sean, aku ada di kantor. Dan nanti malam juga tidak bisa, aku harus bersama dengan Leroy! Kau tahu kan Leroy bisa marah kalau tahu aku pergi denganmu!" balas Briana kesal. 

"Kau masih memedulikan si tua Leroy?" sindir Sean keras. Briana menghela nafasnya.

"Sean, Leroy itu adalah,"

"Kemarilah sekarang, Briana. Bye." Sean menutup telponnya sebelum Briana selesai bicara. Briana lalu merapikan berkas pekerjaannya dan memakai hak tingginya. 


*

"Hai cantik," puji Sean sambil menepuk bokong Briana. Briana tertawa kecil dan membalas dengan ciuman di bibir Sean. Segelas bir dingin dan hotdog ayam duduk manis di meja menemani pasangan yang sedang dilanda asmara itu. Briana menceritakan semua masalah dalam pekerjaannya. Sean mengerti apa yang dilakukan seorang wanita karir memang tidak mudah. Ia harus memimpin perusahaan yang cukup besar seorang diri.

"Sudah kukatakan dari dulu, kau harus menjual separuh saham perusahaanmu agar resikonya tidak terlalu besar, cepat atau lambat perusahaan itu bisa bangkrut kalau kau hanya sendirian menjalankannya," saran Sean. Brianna menelan birnya.

"Tidak bisa, aku tak mungkin bisa melakukan itu, kau tahu alasannya," jawab Briana.

"Ya ya ya, aku tahu perusahaan itu milik Leroy dan seluruh surat masih tertulis atas namanya," ujar Sean sinis. Ia menambahkan bir lagi ke dalam gelasnya dan gelas Briana.

"Kenapa kau begitu membencinya, Sean? Kau tidak boleh begitu! Aku mau saja membagi saham tetapi semua butuh tanda tangan dan persetujuan Leroy," kata Briana. Sean mendengus ke arah Briana.

"Tak perlu kau rawat dia lagi, Briana, biarkan dia terus sakit, dan makin sakit, dan kemudian mati. Semua kekayaannya akan diatur olehmu kan?" kata Sean kesal. Briana merasa sedikit tersinggung dengan ucapan Sean dan ia pun menatap Sean serius.

"Aku tidak akan mungkin melakukan itu padanya!" bentak Briana.

"Kalau begitu terserah saja, Briana, aku pergi dulu. Bye," Sean dengan gusar langsung meninggalkan Briana yang masih merasa gundah dengan masalah kantor dan kini ia harus membayar bon untuk semua bir yang dipesan Sean. Sean sudah terbiasa begini, ia selalu pergi jika hatinya terusik, dan Briana sudah hafal dengan sifat itu.


Briana kembali ke kantor dengan wajah kusut. Ia menggigit pena dan berpikir keras, sampai pintu ruang direksinya diketuk oleh seseorang.

"Permisi, ini ada laporan yang perlu kau tanda-tangani, Madam," kata Max, salah seorang staff baru di kantor Briana.

"Ah, Max! Duduklah, aku ingin mendiskusikan sesuatu denganmu!" tiba-tiba Briana ingin menanyakan solusi kepada Max. Diceritakannya semua permasalahan yang ada, dan Max mendengarkan dengan sangat serius. Max baru bekerja dengan Briana kira-kira tujuh bulan tetapi seluruh keahliannya bisa diberikan dengan dedikasi yang tinggi kepada Briana.
Max memberikan beberapa solusi yang jitu dengan alasan yang logis kepada Briana.

"Wow, Max, kau ini, astaga, ha ha ha, aku tidak percaya di usiamu yang lebih muda dariku, kau bisa berpikiran lebih dewasa dan logis, ini keren sekali, aku sudah mencatat semua saranmu!" puji Briana, dia benar-benar terkesan dengan kepandaian Max.

"Bukan masalah, Madam, katakan saja apapun masalahmu, aku akan membantumu," balas Max, ada kepuasan terlihat dari sorot matanya. Briana membalasnya dengan senyuman yang mengembang.


*


Leroy melompat kegirangan mendapati Briana datang membawa bungkusan makanan. Ia memeluk Briana hangat dengan kecupan manis di keningnya. Briana terbayang wajah Sean sore tadi dan ia merasa ingin muntah.

"Aku bawakan sup asparagus kesukaanmu, ayo makan," kata Briana. Leroy dengan semangat membuka sup dan menyendoknya. Wajahnya terlihat gembira sekali.

"Aku sangat gembira, aku melihat kalender dan minggu depan adalah tanggal 21, kan? Itu tanggal ulang tahun anak kita kan? Dia akan kemari minggu depan! Aku sangat ingin tahu kabarnya, dia sudah lama tidak menelpon, dan apakah dia pernah bercerita tentang pria yang dikencaninya?" tanya Leroy. Briana tertawa. Ia mengelus tangan kiri Leroy dengan penuh kasih.

"Iya, aku juga sangat ingin tahu apakah dia sudah punya pria yang benar-benar mencintainya dengan tulus," kata Briana. Ia menatap mata Leroy. Kornea sebelah kirinya sudah mulai berwarna abu-abu tapi Leroy tidak pernah terlihat tua di mata Briana. Ia selalu terlihat tampan seperti dulu kala.

"Aku harus memberikan wejangan padanya agar tidak salah memilih pria, zaman sekarang banyak pria yang materialistis, mengencani wanita hanya karena lebih sukses darinya. Aku tidak suka mental pria seperti itu. Oh istriku, andaikan Tuhan memberikan kita anak lelaki, akan kudidik dia menjadi seorang pria sejati yang mampu membahagiakan wanitanya!" cerita Leroy dengan semangat. Briana tertawa dan mengelap sup yang berceceran di meja.

"Dia sangat cantik, dari dia lahir aku sudah tahu kalau dia akan tumbuh menjadi wanita yang sangat cantik. Dia memiliki semua itu darimu, istriku. Aku masih ingat bagaimana dia pertama kali memanggilku 'papa', dan aku juga ingat mengajari dia main sepeda di taman, apa kau ingat semuanya, Sayang?" tanya Leroy dengan wajah gemilang.
Briana mengangguk pelan. Ia merasa lucu dengan semua detail cerita Leroy yang kemudian membawanya pada memori lama.

"Berapa umurnya sekarang ya? Kau ingat?" tanyanya pada Briana.

"Tiga puluh tiga," jawab Briana sambil terus mengelus tangan Leroy lembut. Leroy terkikih geli.

"Ah, ingatanmu selalu lebih baik dariku. Anak itu lucu sekali, sudah berkepala tiga masih main-main dengan teman prianya," kata Leroy.

"Dia hanya belum menemukan yang sangat pas untuknya, percayalah, dia tidak bermain," jawab Briana sambil tersenyum geli.

"Kau benar, lagipula aku tidak pernah berhenti berdoa untuknya, dia akan menemukan pria itu, seseorang yang mampu menjaganya sepenuh hati dan mencintainya selalu, sehingga kita tidak perlu lagi khawatir padanya," kata Leroy pelan. Briana tersenyum, ada kehangatan yang luar biasa mengisi relung hatinya saat ini.


*


Telpon genggam Briana berbunyi daritadi, tapi ia enggan mengangkatnya. Hari libur yang menyenangkan, terbebas dari segala macam kesibukan. Briana merenggangkan badannya, tidurnya malam ini sangat berkualitas, mungkin karena sup asparagus kemarin malam. Briana memandang dirinya di kaca, kantung matanya terlihat dengan jelas, ia memang selalu tidur pagi beberapa bulan terakhir ini dan badannya sudah terasa sakit-sakit.

88 panggilan tak terjawab dari Sean dan 1 pesan dari Max: "Madam, proposal kita sudah diterima! Yeah! Mereka menunggu kabar lanjutan dari kita secepatnya. Kau punya waktu sore nanti untuk membahas projek ini? Aku sudah membuatkan skemanya!"

Ada sukacita di hati Briana setelah menerima kabar dari Max, ia segera mengiyakan ajakan Max dengan semangat. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dengan sangat keras. Briana bergegas memakai jaket dan mendapati Sean di depan pintu.

"Sean! Apa yang kau lakukan disini? Bagaimana kalau Leroy melihat kita?" hardik Briana sambil berbisik. 

"Aku tidak peduli, Briana! Demi apapun juga, kenapa kau tidak angkat telponku dari kemarin malam? Apa kabar dengan janjimu yang kau katakan akan memberikanku satu set drum? Apa masih berlaku di hari ini, hah? " balas Sean galak. Briana mendengus kesal.

"Aku marah padamu, Sean, tidakkah kau sadari salahmu?" jawab Briana tegas.

"Oh! Aku salah lagi? Sekali saja aku menyebut namanya dan aku sudah salah?" balas Sean.

"Kau harus bisa hormat padanya!" bentak Briana keras. Sean tertawa dengan aroma menyindir yang kental. Ia tertawa begitu lama.

"Kau sendiri tidak menghormati dia, Briana!" sindir Sean dan Briana langsung menampar pipi Sean. Briana menangis. Ia merasa menyesal pernah menyukai pria kasar itu.

"Kita harus berakhir. Aku tidak mau melihatmu lagi! Leroy mendengar suara bising dari arah pintu depan. Ia pun mulai berjalan menuju asal suara itu.

"Kau tidak bisa begini, Briana! Kau sudah janji tentang drum itu dan sekarang..."

"Pergi kau! Pergi jauh dari sini!" bentak Leroy tiba-tiba. Nafasnya tersengal dan wajahnya merah padam. Briana panik setengah mati. Lutut Briana terasa lemas. Sean sempat terkejut sebentar tapi kemudian ia menatap jijik Leroy sambil mengacungkan jari tengahnya.

"Whatever! Bye!" balas Sean sambil berbalik pergi. Briana hanya bisa menangis dan tubuhnya gemetaran. Leroy menatapnya dengan kekecewaan yang dalam. Briana langsung memeluk Leroy dan menangis disana.

"Dia sudah pergi, istriku, dia tak akan kembali lagi, maukah kau berjanji padaku untuk tidak menemuinya lagi?" tanya Leroy lembut, dan membuat Briana menangis lebih hebat. Ada penyesalan besar menusuknya dari dalam. Dalam pelukannya, Briana merasakan sesuatu yang aneh dari Leroy. Jantung Leroy yang tadinya berdebar sangat cepat kini mulai tidak terdengar detaknya. Tak berapa lama menyadari hal itu, Leroy terjatuh pingsan di pelukan Briana. Spontan Briana panik dan menelpon ambulans.


*


"Max, maafkan aku, sepertinya meeting kita tunda sampai besok." Briana berjanji pada dirinya sendiri tidak akan meninggalkan Leroy yang sudah masuk ruang gawat darurat. Pikiran Briana kacau. Ia sangat ketakutan akan kehilangan Leroy. Satu sisi ia lelah dengan semua sandiwara dan keadaannya. Tapi di sisi lain ia sangat takut kehilangan Leroy.
Briana menangis dan ia mulai ingat untuk berdoa. Leroy terkadang mengajarinya berdoa. Ia ingat waktu-waktu dulu ia selalu melawan Leroy. Briana melipat tangannya, ia memohon kesempatan untuk membahagiakan Leroy sekali lagi. 

Ponsel Briana bergetar tepat setelah ia mengucapkan kata amin. Nama Max ada disana.
"Max, maaf, ini mendadak, aku ada di rumah sakit sekarang," kata Briana.

"Kau sehat Madam? Aku akan kesana, di rumah sakit apa?" ada nada khawatir dari suara Max. Briana mengiyakan dan memberitahu alamat rumah sakit pada Max. Tak lama kemudian Max datang dan langsung menghampiri Briana.

"Bagaimana kondisinya, Madam?" tanya Max khawatir. Briana menangis dan menggeleng pelan. Max memegang tangan Briana dan menatapnya tajam.

"Semua akan baik-baik saja, aku akan berdoa untuknya, aku juga sangat menghormati beliau sebagai presiden direktur, dan juga sebagai pria yang penuh kebaikan," kata Max dan lalu lelaki itu melipat tangannya dan berdoa di depan Briana.
Briana tercengang. Dibalik airmatanya, hatinya tahu bahwa Max tidak sedang mencari muka ataupun menjilat. Ada kekhawatiran yang terlihat sangat jujur di matanya. Briana merasa sedikit tenang karena dukungan dari Max.

"Berapa usiamu, Max?" tanya Briana.

"Tiga puluh satu, Madam, dan masih muda," jawab Max sambil bercanda. Briana tersenyum singkat. Ia mengangguk pelan.

"Panggil aku Briana saja, aku belum setua itu sampai cocok dipanggil Madam oleh pria berumur 31," balas Briana bercanda. Max tertawa kecil dan balas mengangguk.

Selang beberapa menit, dokter pun akhirnya menghampiri Briana.
"Dia sudah kami berikan tindakan, Briana, tekanan darahnya turun drastis, dan hampir kehilangan kesadaran. Syukurlah dia cepat dibawa kemari," kata dokter dan membuat Briana langsung berlari ke kamar Leroy.

"Papa! Jangan tinggalkan Briana, Pa! Briana sayang sama Papa!" isakan Briana terdengar begitu memilukan. Dia belum pernah menangis sekeras itu. Max hanya bisa memberikan kehadirannya sebagai satu-satunya dukungan untuk Briana.

Penyesalan demi penyesalan bermunculan di kepala Briana. Dia selalu menjadi anak yang keras dan tidak patuh selama ini. Sampai ketika sang ibunda harus meninggalkan mereka karena sakit. Kematian itu kemudian memberikan luka dan trauma teramat dalam bagi Leroy. Tragedi yang begitu mengguncang kehidupan dan jiwa Leroy itu ternyata ikut mengubahkan peran Briana.


"Maria?" tiba-tiba suara Leroy terdengar lirih.

"Bukan, Papa, ini Briana," bisik Briana. Dia lelah dengan semua sandiwara ini dan merasa ingin mengakhirinya.

"Briana, putriku," kata Leroy sambil mengecup kening Briana. Briana menangis bahagia mendengar pernyataan Leroy.

"Kau ingat aku, Papa?" tanya Briana terisak.

"Aku tadi bertemu ibumu waktu aku tidur. Dia bilang kalau dia bahagia disana, dan dia ingin aku pulang," cerita Leroy bahagia. Sorot matanya terlihat begitu gembira.

Briana tertawa dan air mata bahagianya tak berhenti mengalir. Kemudian dokter datang ke dalam ruangan itu.

"Ayahmu akan dipindahkan ke ruang perawatan intensif, Briana, dia akan baik-baik saja, kau bisa kembali lagi nanti, saat ini biarkan dia tidur dulu," saran dokter. Briana mengangguk mantap dan berterima kasih.

"Papa, aku pulang dulu, akan kubelikan sup asparagus kesukaanmu, sampai jumpa nanti sore ya," kata Briana. Leroy menggenggam tangan putrinya.

"Iya, aku menyayangimu, Nak," jawab Leroy.

"Aku menyayangimu juga, Papa," balas Briana tulus.


Briana dan Max kemudian meninggalkan rumah sakit. Ada kelegaan luar biasa di hati Briana. Ia memeluk Max erat dan mengatakan bahwa hidupnya terasa lebih hidup. Briana tidak bisa berhenti bicara, ia bercerita banyak tentang masa kecilnya, dan hidupnya yang lengkap karena ayahnya yang selalu baik padanya. Briana juga bercerita mengenai kematian ibunya, dan betapa ia sangat merindukan belaian darinya. Max belum pernah merasa sepenting ini sepanjang usianya.


*

"Maria? Dimana kau?" 

"Aku disini, Leroy."

Leroy menatap wajah istrinya yang cantik dan bercahaya. Leroy tersenyum dan menangis bahagia.

"Maria, istriku, aku siap untuk pulang."




~Fin.

Comments

  1. ternyata briana itu putrinya ya..
    dan endingnya bikin nyesek :(
    keep writing ce ^^

    ReplyDelete
  2. Aku tadinya mikir briana istri yg matre dan selingkuh, ternyata dia berperan menjadi istri papahnya sendiri gt gits? Aaaaaaaaakkk lagi lagi lagi

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyah kakkkkk hehehehe makasi yaaa ak akan bkin lagi :D

      Delete
  3. Oh, ternyata briana itu putrinya wkwkw
    Nice story ce :)

    ReplyDelete

Form for Contact Page (Do not remove)